Selama ini para orang tua memberikan
banyak perhatian pada IQ (Intelligence Quotient). IQ diasosiasikan
dengan kepandaian yang diwujudkan dalam kepandaian anak di sekolah.
Khususnya kepandaian dalam ilmu pasti. Hal lain yang dulu juga diyakini
orang adalah IQ yang berlaku umum. Jadi anak-anak yang ber-IQ diatas 120
lebih mudah untuk bisa mengambil jurusan yang ia minati di perguruan
tinggi. Dari kedokteran sampai sastra. Bahkan seakan akan sudah
diramalkan dia bakalan sukses sebagai apa saja, dari birokrat sampai
pengusaha.
Memang selama 20 tahun terakhir ini
ditemukan bahwa ada peningkatan skor IQ sebanyak 20 poin (shapiro,
1997). Kenyataan ini memperlihatkan bahwa orang tua dan masyarakat
berhasil meningkatkan kemampuan anak secara kognitif. Namun ternyata IQ saja tidak cukup.
Kita banyak melihat contoh di masyarakat, orang dengan prestasi di
sekolah biasa saja bisa menjadi orang yang sangat sukses, ataupun
sebaliknya akhir akhir ini banyak contoh terjadi juga penurunan kualitas
dalam masyarakat seperti dengan banyaknya kasus kriminalitas, drop out
sekolah, penyalahgunaan narkoba pada anak dan remaja. Keadaan ini
menunjukan bahwa IQ yang tinggi, yang ditunjukan dengan peningkatan skor
IQ, tidak cukup untuk bekal anak dalam menghadapi kehidupannya. Skor IQ
meninggi ini disertai dengan menigkatnya kesejahteraan anak anak
tersebut.
Di tahun 1990 (dalam papalia 2004) dua orang psikolog Peter Salovey dan John Maye menciptakan istilah baru yaitu Emotional Intelligence atau kecerdasan Emosi (EI).
Kecerdasan Emosi menurut kedua psikolog ini adalah kemampuan untuk
mengerti dan mengendalikan emosi. Kemampuan ini dianggap sebagai
komponen penting dalam tingkah laku yang cerdas. Istilah EI ini kemudian
dikembangkan oleh Daniel Goleman dari berbagai penelitian yang
dilakukannya, ia menemukan bahwa orang-orang yang sampai pada posisi
puncak umumnya mempunya EI yang baik.
Emotional Intelligence memainkan peran
yang amat penting bagi seseorang untuk dapat menerapkan pengetahuan yang
ia miliki. Dengan EI yang baik, seseorang akan dapat bekerja secara
efektif dalam tim, mengenali dan berespon terhadap perasaan diri dan
orang lain secara tepat serta dapat memotivasi diri sendiri dan orang
lain (Cadman & Brewer, 2001 dalam Papalia, 2004). Lebih lanjut lagi
EI amat mempengaruhi hubungan personal dan kemampuan manajemen stress
(Cherniss, 2002 dalam Papalia, 2004). Jadi pada dasarnya EI yang baik
akan memberi ruang gerak lebih besar bagi IQ untuk tumbuh maksimal.
Seperti tercantum pada point ke-dua dari opini Mayer & Salovey tahun
1997. “EI dapat mengatur secara sadar sehingga mampu memajukan
pertumbuhan emosi dan Intelektual umum” anak yang emosinya stabil akan
lebih mudah berkonsentrasi dan berpikir logis, mampu memotivasi dirinya
untuk fokus pada aktivitas yang konstruktif dan membina hubungan yang
harmonis dengan lingkungan sekitar.
Emotional Intelligence
Siapapun bisa
marah, marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan
kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan
dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah. (Aristoteles, The Nicomachean
Ethics)
Kecerdasan
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis (menjadi professor). Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak melulu ini saja. Pandangan baru yang berkembang : ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dll. yang harus juga dikembangkan.
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis (menjadi professor). Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak melulu ini saja. Pandangan baru yang berkembang : ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dll. yang harus juga dikembangkan.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu
masalah menyangkut pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan
sama pentingnya dan sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi itu
memperkaya; model pemikiran yang tidak menghiraukan emosi merupakan
model yang miskin. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia,
seperti kepercayaan, harapan, pengabdian, cinta, seluruhnya lenyap
dalam pandangan kognitif yang dingin, Kita sudah terlalu lama menekankan
pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan
tidaklah berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosional
menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat kita menjadi
lebih manusiawi.
Antara IQ dan EQ
Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Terdapat pemikiran bahwa IQ menyumbang paling banyak 20 % bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80 % ditentukan oleh faktor lain.
Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Terdapat pemikiran bahwa IQ menyumbang paling banyak 20 % bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80 % ditentukan oleh faktor lain.
Kecerdasan akademis praktis tidak
menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang
ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak
menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.
Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang
yang secara emosional cakap yang mengetahui dan menangani perasaan
mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi
perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap
bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan,
ataupun dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang menentukan
keberhasilan dalam politik organisasi.
Orang dengan ketrampilan emosional yang
berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil
dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong
produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu
atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang
merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada karir/pekerjaan
ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.
Survey membuktikan ….
Survei terhadap orangtua dan guru-guru memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya : lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.
Survei terhadap orangtua dan guru-guru memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya : lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.
Kemerosotan emosi tampak dalam semakin parahnya masalah spesifik berikut :
- Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial; lebih suka menyendiri, bersikap sembunyi-sembunyi, banyak bermuram durja, kurang bersemangat, merasa tidak bahagia, terlampau bergantung.
- Cemas dan depresi, menyendiri, sering takut dan cemas, ingin sempurna, merasa tidak dicintai, merasa gugup atau sedih dan depresi.
- Memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir ; tidak mampu memusatkan perhatian atau duduk tenang, melamun, bertindak tanpa bepikir, bersikap terlalu tegang untuk berkonsentrasi, sering mendapat nilai buruk di sekolah, tidak mampu membuat pikiran jadi tenang.
- Nakal atau agresif; bergaul dengan anak-anak yang bermasalah, bohong dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar terhadap orang lain, menuntut perhatian, merusak milik orang lain, membandel di sekolah dan di rumah, keras kepala dan suasana hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok , bertemperamen panas.
Penelitian jangka panjang terhadap 95
mahasiswa Harvard dari angkatan tahun 1940 an menunjukkan bahwa dalam
usia setengah baya, mereka yang peroleh tesnya paling tinggi di
perguruan tinggi tidaklah terlampau sukses dibandingkan rekan-rekannya
yang IQ nya lebih rendah bila diukur menurut gaji, produktivitas, atau
status di bidang pekerjaan mereka.
Mereka juga bukan yang paling banyak
mendapatkan kepuasan hidup, dan juga bukan yang paling bahagia dalam
hubungan persahabatan, keluarga, dan asrmara.
Penanganan
Bagaimana kita mempersiapkan anak-anak kita dalam menempuh kehidupan ? Perlu pendidikan kecakapan manusiawi dasariah, seperti kesadaran diri, pengendalian diri, dan empati, seni mendengarkan, menyelesaikan pertentangan dan kerja sama. Kendati terdapat kendali sosial, dari waktu ke waktu nafsu seringkali menguasai nalar. Perlu adanya keseimbangan antara kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Keberhasilan hidup ditentukan oleh keduanya.
Bagaimana kita mempersiapkan anak-anak kita dalam menempuh kehidupan ? Perlu pendidikan kecakapan manusiawi dasariah, seperti kesadaran diri, pengendalian diri, dan empati, seni mendengarkan, menyelesaikan pertentangan dan kerja sama. Kendati terdapat kendali sosial, dari waktu ke waktu nafsu seringkali menguasai nalar. Perlu adanya keseimbangan antara kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Keberhasilan hidup ditentukan oleh keduanya.
Ajaran Socrates : Kenalilah dirimu menunjukkan inti kecerdasan emosional : kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul.
Pelatihan untuk menyatakan perasaan
negatif (marah, frustrasi, kecewa, depresi, cemas) menjadi amat penting.
Pelampiasan yang tidak tepat justru menambah intensitas, bukan
mengurangi. Cara berpikir menentukan cara merasa, oleh karenanya
berpikir positif sangatlah diperlukan.
Ketekunan, kendali dorongan hati dan
emosi, penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri sendiri demi suatu
sasaran, kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain
(empati), dan manajemen diri merupakan hal yang dapat dipelajari.
Pengalaman dan pendidikan di masa kanak-kanak akan sangat menentukan dasar pembentukan ketrampilan sosial dan emosional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar